Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta, sebut saja namanya Budi. Ketika bangun tidur Budi langsung melesakkan ear-phone Ipod ke daun telinga guna mendengarkan band kesukaannya. Lalu sesudah mandi, ia sempatkan sekilas menonton kartun Warner Bross walaupun sebenarnya ia sangat mengidolakan Goerge Clooney dan Julia Stiles untuk urusan film. Sembari memakai sepatu Nike untuk alas kaki berangkat kuliah, tangan satunya sibuk mengetik sms dari hand phone Motorola. Hari itu di kampus Budi dan teman-teman menempatkan Mcdonald sebagai prioritas tempat makan siang. Itu pun tidak setiap hari, yang kadang kalau mereka sekedar hanya ingin kongkow-kongkow maka pilihan pun dijatuhkan ke Starbucks. Begitulah kira-kira Budi melakukan aktivitasnya sehari-hari. Potret perilaku Budi sehari-hari, meskipun tidak persis sama namun tidak jauh berbeda pula dengan kita. Segala aktivitas yang kita lakukan hampir tidak luput menggunakan brand barat (fokus untuk tulisan ini; Amerika) sebagai tools, maupun hanya sekedar fashion. Sebagian dari kita meyakini bahwa itu memang sudah wajar terjadi di era globalisasi (baca: pasar bebas) dan sebagian lainnya lagi ikut meng-amini. Kemajuan globalisasi yang menerobos batas negara adalah hal yang tak terhindarkan pada saat ini. Dengan kata lain, ketika ada lagu terbaru di putar di Mtv, maka pada detik itu pula si Budi bisa langsung mendengarkan. Ini juga yang berlaku pada film terbaru, produk retail, makanan, otomotif, dll. Semuanya made in
Globalisasi (baca: Amerikanisasi) memang sudah masuk ke sendi-sendi tulang realitas sosial kita. Lagi pula, kalau tidak meniru (memakai produk) Amerika, negara mana yang kemudian di daulat sebagai trend center untuk standarisasi kemajuan teknologi, maupun budaya. Tak adil pula rasanya kalau kita langsung mengharamkan segala hal pada benda mati yang berbau Amerika. Diluar semua pemikiran tentang hal tersebut marilah kita berhenti sejenak, berteduh pada pohon yang dibawahnya kita kembali menengok kebelakang melihat sisi historis dari cerita perjalanan “Amerikanisasi”.
Pada awal PD I, netralitas Amerika yang di panjikan oleh Presiden Wodrow Wilson mendapat pengaruh hebat dari Inggris yang mendirikan biro propaganda rahasia untuk mendapatkan simpati dari elite level AS. Inggris berhasil, pada 2 April 1917,
Pada PD II, tahun 1942 Presiden Rosevelt mengkordinir semua informasi publik menjadi Kantor Penerangan Perang ( Office of War Information, OWI) yang mendirikan 26 pos di luar negeri yang dikenal sebagai USIS (United States Information Service). USIS kemudian berada di bawah garis komando USIA (United Stated Information Agency). Tahun 1948, memasuki perang era perang dingin, Truman memulai “Campaign of Truth” untuk mengarahkan kegiatan propaganda Amerika menghadapi penyebaran komunisme internasional.
Instrumen yang digunakan USIA seperti misalnya VOA (Voice Of Amerika), program FULBRIGHT (beasiswa dan pertukaran pelajar), Radio/ TV Marti di Kuba, RFE (Radio Free Europe), RFA (Radio Free Asia) yang mengudara di Cina, Korea Utara, Tibet, Vietnam, Laos, dan Birma, industri film Hollywood lewat film seperti ; The Hunt Within, The Kaiser, The Claws of the Hunt, The Beast of Burden, serta berbagai media massa Amerika lainnya. Benang merah propaganda ini adalah “menjual” ideal Amerika yang mencakup politik (demokrasi), ekonomi (pasar bebas), sosial-budaya (life style). USIA sempat meredup pada pemerintahan Carter, tetapi mulai mendapat semangat baru ketika Reagan bekuasa. Demokrasi yang disisipkan kepentingan ekonomi pasar global sampai ke seluruh penjuru dunia dengan salah satu instrumennya yaitu USIA. Ketika Uni Soviet menjelang keruntuhannya maka kebijakan containment (pembendungan) berubah menjadi enlargement (perluasan) yang menempatkan basis kekuatan ekonomi menggantikan perang ideologi sebagai supremasi Amerika atas dunia. Fenomena tersebut mendapat perhatian dunia ketika pasar bebas menempatkan Reagan dan Thatcher sebagai icon. Kebijakan ini diteruskan sampai pada era
Kasus menarik terjadi di Amerika sendiri, Edward Bernays, bapak humas modern (kepala komite CPI) meyakinkan kaum wanita Amerika bahwa merokok itu mempesona dan membebaskan. Model wanita disewa untuk berpawai pada parade paskah di
Pramoedya Ananta Toer menulis gambaran kemajuan jaman dalam bukunya Anak Semua Bangsa "Inilah jaman modern, Minke, yang tidak baru dianggap kolot, orang tani, orang desa. Orang menjadi begitu mudah terlena, bahwa di balik segala seruan, anjuran, kegilaan tentang yang baru menganga kekuatan gaib yang tak kenyang-kenyang akan mangsa.... (Anak Semua Bangsa,Miriam de La Croix, 107) Budi boleh saja tetap memakai kaos oblong bermerek Adidas lalu pergi kelapangan basket untuk mempraktekan